BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dewasa ini,
banyak perdebatan tentang konsep ekonomi yang diterapkan di Indonesia yaitu
antara sistem ekonomi kerakyatan atau sistem ekonomi liberal. Dengan adanya
konflik ini banyak sekali bermunculan pendapat-pendapat yang pro dan kontra
mengenai sistem apa yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
Dengan pembuatan makalah ini diharapkan kita dapat
mengetahui pengertian ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal secara lebih
konkrit. Selain itu, kita
dapat mengetahui kelebihan serta kelemahan dari kedua konsep ekonomi tersebut. Dalam makalah ini juga dijelaskan mengenai
sejarah perkembangan sistem ekonomi yang ada di Indonesia, sebelum menyimpulkan
konsep ekonomi apa yang dapat diterapkan di Indonesia..
1.2 TUJUAN DAN MANFAAT
1. Memberi
pelatihan berbasis kompetensi untuk mengembangkan keterampilan mengamati dan
mendokumentasikan semua aspek yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan dan
ekonomi liberal.
2. Mengetahui
pengertian ekonomi kerakyatan.
3. Mengetahui pengertian ekonomi
liberal.
4. Mengetahui
kelebihan dan kelemahan ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal.
5. Mengetahui sistem ekonomi mana yang cocok diterapkan di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Sebelum mengetahui sistem ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia
terlebih dahulu kita mengetahui sistem perekonomian yang pernah terjadi di
Indonesia.
1. ORDE LAMA
Pada masa orde lama di bagi menjadi tiga masa yaitu:
a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara
lain disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku yaitu mata
uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah mata uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Selain banyaknya
mata uang yang beredar, keadaan ekonomi keuangan yang amat buruk juga
disebabkan adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI, kas negara yang kosong, dan
eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada
pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez
passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi antara lain:
1.
Gunting Syarifuddin yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950
untuk mengurangi jumlah uang beredar.
2.
Progam Benteng (Kabinet Natsir) yaitu upaya menumbuhkan
wiraswastawan pribumi dan mendorong impotir nasional agar bisa bersaing dengan
perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan
lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Selain itu memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi, agar dapat berpartisipasi dengan perkembangan
ekonomi nasional. Namun, usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif dan tidak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi
(Cina).
3.
Nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia
pada tanggal 15 Desember 1951 lewat UU 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank
sentral dan bak sirkulasi.
4.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
(Kabinet Ali Sastroamijoyo
I) yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada
pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1867)
Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus
pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
Kebijakan-kebijakan
yang diambil pemerintah di masa ini antara lain:
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang
antara lain uang kertas pecahan Rp 500,00 menjadi Rp50,00 dan uang Rp 1000,00
menjadi Rp 100,00.
2.
Pembentukan Deklarasi
Ekonomi untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi prekonomian di
Indonesia.
3.
Pemerintah tidak menghemat
pengeluarannya malah banyak melaksanakan proyek-proyek mercusuar.
Kebijakan-kebijakan di atas belum mampu memperbaiki
keadaan ekonomi di Indonesia dan ini merupakan salah satu akibat karena
menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan Indonesia berkiblat
ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang lainnya.
2. ORDE BARU
Setelah melihat pengalaman masa lalu, di mana dalam sistem ekonomi
liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha
non-pribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah
sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi Demokrasi Pancasila.
Di bawah kekuasaan Soeharto (1965-1998), Indonesia menjadi pelaksana
teori petumbuhan Rostow yaitu:
1.
Tahap I: Masyarakat
Tradisional.
2.
Tahap II: Pra Kondisi untuk
Tinggal Landas.
3.
Tahap III: Tinggal Landas.
4.
Tahap IV: Menuju Kedewasaan.
5.
Tahap V: Konsumsi Massa
Tinggi
Ini terbukti adanya pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan PELITA
(Pembangunan Lima Tahunan). Hasilnya pada tahun1984 Indonesia berhasil
swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan
rakyat, dan industrialisasi meningkat pesat. Namun dampak negatifnya adalah
kerusakan serta pencemaran lingkungan, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan
pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, penumpukan
utang luar negeri, dan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat dengan
KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa di imbangi
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.
Namun, pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang
membuat Soeharto lengser. Indonesia belum sempat menuju tahap Tinggal Landas
malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan
mulai hancur.
3. ORDE REFORMASI
Pada masa reformasi juga dapat dibagi sebagai berikut:
1. Masa Kepemimpinan BJ. Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam ekonomi.
2. Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid
Di masa ini belum ada tindakan yang cukup berarti
untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwarisi dari orde baru antara lain masalah KKN, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedeudukan diganti oleh Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain:
a. Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5.8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara
di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari
intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil
penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1%.
Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi karena BUMN diprivatisisasi,
dijual ke perusahaan asing.
4. Masa Kepemimpinan SBY-JK
Kebijakan kontroversial pertama SBY adalah mengurangi
subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini
dilatarbelaki oleh naiknya harga minyak dunia. Anggarn subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan, kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu kebijakan kontroversial kedua yakni
BLT (Bantuan Lngsung Tunai) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai
ke tangan yang berhak mendapatkannya. Ada yang mengaku masyarakat miskin
sehingga menerima BLT tersebut, serta sistem pembagiannya menimbulkan berbagai
masalah social.
Pada bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh
sisa utangnya pada IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun, wacana
untuk berhutang lagi ke luar negeri kembali mencuat setelah laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antar penduduk kaya dan mislin menjadi tajam dan jumlah
penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05
jutajiwa di bulan Maret 2006.
Hal ini
disebabkan karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih kurang
(perbankan masih suka menyimpan dan di SBI), sehingga kinerjanya kurang dan
berimbas pada turunnya investasi. Selain itu birokrasi pemerintah terlalu
kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap.
Jadi di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri,
tetapi di pihak lain kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
2.2
EKONOMI KERAKYATAN
VS EKONOMI LIBERAL
Ekonomi Kerakyatan
Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai
menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang
bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan
dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu
ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden.
Tetapi masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan
karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi
kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik
pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh.
Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai
paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Berbagai macam pertanyaan timbul
antara lain. Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi
kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam
konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai
tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan kurang berpihak kepada rakyat miskin.
Pertama-tama, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur
ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah
kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal
adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan
rendah atau miskin. Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat
analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat
pendapatannya berbeda.
Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok
masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu
kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani yaitu yang
kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan
produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara
itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak
bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat
ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda
terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.
Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan,
karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan
miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika
pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena
mereka memiliki lebih banyak sumber daya.
Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena
biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang
pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi
UMKM.
Ekonomi
Liberalisme
Di beberapa waktu yang lalu, semenjak Boediono di calonkan sebagai wakil
presiden. Nama “Boediono” menjadi semakin popular. Munculnya nama Boediono
sebagai cawapres waktu itu menimbulkan beragam reaksi, sebagian pihak seperti
kadin mendukung pencalonan Gubernur BI ini, sebaliknya beberapa parpol koalisi
PD masih melakukan penolakan terhadap Boediono. Salah satu alasan penolakan
yang mengemuka adalah karena Boediono disinyalir menganut paham
“Neoliberalisme” yang katanya sangat merugikan negeri tercinta ini, banyak
kalangan berharap paham ekonomi kerakyatan yang seharusnya dipakai di negeri
ini.
Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh
pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme.
Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua
ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar sosial, bukan neoliberal).
Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal.
Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal.
Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk
gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan
liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai
dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang terjadi
dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.
Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 dalam bentuk lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri
era besar yang disebut embedded liberalism. Embedded liberalism
merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an.
Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat
relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour
pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi
kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih
ekstrem.
Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme
berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus).
Tak ada yang aneh pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan
sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya
melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia
sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata
aturan. Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo
oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup
manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Setelah melihat uraian di atas di Indonesia seharusnya menerapkan
ekonomi kerakyatan. Ekonomi ini bertumpu pada sektor-sektor ekonomi rakyat,
salah satu contoh adalah UMKM yang berada di berbagai daerah perlu
ditingkatkan. Dengan mengetahui potensi-potensi daerah yang ada, pemerintah
seharusnya bisa memodali dalam bentuk uang ataupun fasilitas misalnya
memberikan bantuan tunai untuk mengembangkan UMKM yang berada di daerah itu
serta memberikan pelatihan-pelatihan bagaimana cara mengembangkan usaha. Dengan
begitu, juga dapat mengurangi pengangguran-pengangguran di sektor-sektor informal.
Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas perlu difasilitasi
dengan teknologi yang sudah berkembang di era globalisasi ini. Salah satu
contoh dengan gagasan pusat komunikasi bisnis berbasis web. Ini diberikan
pemahaman-pemahaman bagaimana menggunakan fasilitas internet, web untuk
mengembangkan UMKM yang ada. Salah satu faktor pendukung memperluas pasar baik
dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam hal ini juga diperlukan adanya kerja sama dengan pemerintah. Kita
tahu, salah satu kendala tersalurnya modal yaitu korupsi yang banyak dilakukan
oleh para pejabat di pemerintahan pusat ataupun di daerah. Selama ini belum
dapat teratasi, kemungkinan sangat sulit menjalankan sistem ini. Uang yang
seharusnya untuk modal pengembangan UMKM di daerah-daerah tidak dapat
tersalurkan semuanya. Terkadang masyarakat hanya memperoleh sebagian atau
mungkin hanya sedikit yang sudah dianggarkan. Apa pun itu, untuk sistem ekonomi
yang sudah dialami dahulu dan berdampak sampai sekarang. Terlebih lagi
masalah privatisasi, ini seharusnya dijadikan pelajaran untuk ke depan
bagaimana membangun Indonesia yang lebih baik lagi