Rabu, 17 Oktober 2012

Makalah Ekonomi Kerakyatan




BAB I

PENDAHULUAN



1.1    Latar Belakang

Dewasa ini, banyak perdebatan tentang konsep ekonomi yang diterapkan di Indonesia yaitu antara sistem ekonomi kerakyatan atau sistem ekonomi liberal. Dengan adanya konflik ini banyak sekali bermunculan pendapat-pendapat yang pro dan kontra mengenai sistem apa yang seharusnya diterapkan di Indonesia. 

Dengan pembuatan makalah ini diharapkan kita dapat mengetahui pengertian ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal secara lebih konkrit. Selain itu, kita dapat mengetahui kelebihan serta kelemahan dari kedua konsep ekonomi tersebut. Dalam makalah ini juga dijelaskan mengenai  sejarah perkembangan sistem ekonomi yang ada di Indonesia, sebelum menyimpulkan konsep ekonomi apa yang dapat diterapkan di Indonesia..



       1.2 TUJUAN DAN MANFAAT

1.     Memberi pelatihan berbasis kompetensi untuk mengembangkan keterampilan mengamati dan mendokumentasikan semua aspek yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal.

2.       Mengetahui pengertian ekonomi kerakyatan.

3.     Mengetahui pengertian ekonomi liberal.

4.       Mengetahui kelebihan dan kelemahan ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal.
5.       Mengetahui sistem ekonomi mana yang cocok diterapkan di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN



2.1     SEJARAH PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA

Sebelum mengetahui sistem ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia terlebih dahulu kita mengetahui sistem perekonomian yang pernah terjadi di Indonesia.

   1.       ORDE LAMA

Pada masa orde lama di bagi menjadi tiga masa yaitu:

                a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah mata uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

Selain banyaknya mata uang yang beredar, keadaan ekonomi keuangan yang amat buruk juga disebabkan adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI, kas negara yang kosong, dan eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

                b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.



Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi antara lain:

1.       Gunting Syarifuddin yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950 untuk mengurangi jumlah uang beredar.

2.       Progam Benteng (Kabinet Natsir) yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong impotir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Selain itu memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi, agar dapat berpartisipasi dengan perkembangan ekonomi nasional. Namun, usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tidak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi (Cina).

3.       Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15 Desember 1951 lewat UU 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bak sirkulasi.

4.       Sistem Ekonomi Ali-Baba (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

                c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1867)

Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).





Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah di masa ini antara lain:

1.          Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang antara lain uang kertas pecahan Rp 500,00 menjadi Rp50,00 dan uang Rp 1000,00 menjadi Rp 100,00.

2.       Pembentukan Deklarasi Ekonomi untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi prekonomian di Indonesia.

3.       Pemerintah tidak menghemat pengeluarannya malah banyak melaksanakan proyek-proyek mercusuar.



Kebijakan-kebijakan di atas belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia dan ini merupakan salah satu akibat karena menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang lainnya.



   2.       ORDE BARU

Setelah melihat pengalaman masa lalu, di mana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi Demokrasi Pancasila.

Di bawah kekuasaan Soeharto (1965-1998), Indonesia menjadi pelaksana teori petumbuhan Rostow yaitu:

1.       Tahap I: Masyarakat Tradisional.

2.       Tahap II: Pra Kondisi untuk Tinggal Landas.

3.       Tahap III: Tinggal Landas.

4.       Tahap IV: Menuju Kedewasaan.

5.       Tahap V: Konsumsi Massa Tinggi

Ini terbukti adanya pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Hasilnya pada tahun1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat, dan industrialisasi meningkat pesat. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, penumpukan utang luar negeri, dan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat dengan KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa di imbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.

Namun, pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang membuat Soeharto lengser. Indonesia belum sempat menuju tahap Tinggal Landas malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mulai hancur. 

  

   3.       ORDE REFORMASI

Pada masa reformasi juga dapat dibagi sebagai berikut:

       1.       Masa Kepemimpinan BJ. Habibie

Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam ekonomi.

       2.       Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid

Di masa ini belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwarisi dari orde baru antara lain masalah KKN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedeudukan diganti oleh Megawati.





        3.       Masa Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri

Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain:



a.     Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5.8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

b.       Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1%. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi karena BUMN diprivatisisasi, dijual ke perusahaan asing.

4.       Masa Kepemimpinan SBY-JK

Kebijakan kontroversial pertama SBY adalah mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelaki oleh naiknya harga minyak dunia. Anggarn subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan, kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu kebijakan kontroversial kedua yakni BLT (Bantuan Lngsung Tunai) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak mendapatkannya. Ada yang mengaku masyarakat miskin sehingga menerima BLT tersebut, serta sistem pembagiannya menimbulkan berbagai masalah social.



Pada bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh sisa utangnya pada IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun, wacana untuk berhutang lagi ke luar negeri kembali mencuat setelah laporan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk kaya dan mislin menjadi tajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 jutajiwa di bulan Maret 2006.



Hal ini disebabkan karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih kurang (perbankan masih suka menyimpan dan di SBI), sehingga kinerjanya kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu birokrasi pemerintah terlalu kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap. Jadi di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tetapi di pihak lain kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.



2.2     EKONOMI KERAKYATAN VS EKONOMI LIBERAL

Ekonomi Kerakyatan

Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden.

Tetapi masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh.

Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Berbagai macam pertanyaan timbul antara lain. Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan kurang berpihak kepada rakyat miskin.



Pertama-tama, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin. Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda.

Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani yaitu yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UMKM.



 Ekonomi Liberalisme

Di beberapa waktu yang lalu, semenjak Boediono di calonkan sebagai wakil presiden. Nama “Boediono” menjadi semakin popular. Munculnya nama Boediono sebagai cawapres waktu itu menimbulkan beragam reaksi, sebagian pihak seperti kadin mendukung pencalonan Gubernur BI ini, sebaliknya beberapa parpol koalisi PD masih melakukan penolakan terhadap Boediono. Salah satu alasan penolakan yang mengemuka adalah karena Boediono disinyalir menganut paham “Neoliberalisme” yang katanya sangat merugikan negeri tercinta ini, banyak kalangan berharap paham ekonomi kerakyatan yang seharusnya dipakai di negeri ini.

Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal.

Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.

Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.

Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan. Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.





BAB III

PENUTUP



3.1 KESIMPULAN


Setelah melihat uraian di atas di Indonesia seharusnya menerapkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi ini bertumpu pada sektor-sektor ekonomi rakyat, salah satu contoh adalah UMKM yang berada di berbagai daerah perlu ditingkatkan. Dengan mengetahui potensi-potensi daerah yang ada, pemerintah seharusnya bisa memodali dalam bentuk uang ataupun fasilitas misalnya memberikan bantuan tunai untuk mengembangkan UMKM yang berada di daerah itu serta memberikan pelatihan-pelatihan bagaimana cara mengembangkan usaha. Dengan begitu, juga dapat mengurangi pengangguran-pengangguran di sektor-sektor informal.



Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas perlu difasilitasi dengan teknologi yang sudah berkembang di era globalisasi ini. Salah satu contoh dengan gagasan pusat komunikasi bisnis berbasis web. Ini diberikan pemahaman-pemahaman bagaimana menggunakan fasilitas internet, web untuk mengembangkan UMKM yang ada. Salah satu faktor pendukung memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.



Dalam hal ini juga diperlukan adanya kerja sama dengan pemerintah. Kita tahu, salah satu kendala tersalurnya modal yaitu korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat di pemerintahan pusat ataupun di daerah. Selama ini belum dapat teratasi, kemungkinan sangat sulit menjalankan sistem ini. Uang yang seharusnya untuk modal pengembangan UMKM di daerah-daerah tidak dapat tersalurkan semuanya. Terkadang masyarakat hanya memperoleh sebagian atau mungkin hanya sedikit yang sudah dianggarkan. Apa pun itu, untuk sistem ekonomi yang sudah dialami dahulu dan berdampak sampai sekarang.  Terlebih lagi masalah privatisasi, ini seharusnya dijadikan pelajaran untuk ke depan bagaimana membangun Indonesia yang lebih baik lagi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar