Rentang masa pada
tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya
dari penjajahan Belanda merupakan masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang
dialami. Meskipun Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan
Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi
Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah
kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai sebagian
wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan
pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan penculikan yang dilakukan kepada
penguasa saat itu (Soekarno).
Selama masa itu (1945
– 1949) perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh
indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi
jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya
adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca
perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik Indonesia
dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di
Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer
yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga
saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan
yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berelebih)
dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.
Data saat itu
menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk
wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya
mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).
Pada tahun yang sama
terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang
berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau
(chaos) dan membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak
banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja
kedua pemerintahan terus-menerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang
dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau
tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka
melaksanakan program ‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi
negara-negara eropa untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena
Indonesia merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak
menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat
pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia
(pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening ‘E.C.A. Counterpart
Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif. Akibat hal itu, lalu
lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah
suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal
pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada
prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah
valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada
dana devisa.
Ekonomi moneter daerah
kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana
hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer
serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.
Peredaran Mata Uang di
Indonesia
Jumlah uang yang telah
beradar di masyarakat pada saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara
de jure adalah jumlah uang tersebut ditambah dengan jumlah uang yang
dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis
mata uang yang telah diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis
mata uang yang beredar di Indonesia.
Jenis Mata Uang
Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran
ORI Pemerintah Pusat
(Yogyakarta) Jawa dan Madura
URIBA Pemda Aceh Aceh
URITA Pemda Tapanuli
Tapanuli
ORIPS Pemda Sumatera
Tengah Sumatera Tengah
URISU Pemda Sumatera
Utara UMUT dan Aceh
URIDAB Pemda Banten
Banten
Uang Mandat Dewan
Pertahanan Daerah SUMSEL SUMSEL
Straits Dollar
Pemerintah Singapura dan Malaya Kepulauan Riau
Nieuw Gulden
Pemerintah Hindia Belanda Irian Barat
Gunpyo Militer Jepang
Pendudukan Jepang
Ketika masa pendudukan
Belanda mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintahan
Hindia Belanda, yaitu uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah
Hindia Belanda (munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat
pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat peredaran uang
‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis mata uang sebagai alat
pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’. Ketika pendudukan Indonesia oleh
Jepang, ketiga mata uang tersebut beredar dan berlaku untuk segala transaksi
perdagangan. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama sebab mata uang Jepang
mampu mendominasi peredarannya di Indonesia melebihi kedua mata uang lainnya
ketika Jepang mampu menggelembungkan volume jumlah uang dengan usaha perang
Jepang yang meningkat. Berikut adalah sebaran peredaran mata ‘uang invasi’
(Jepang) di Indonesia pada pertengahan Agustus 1945:
Daerah Peredaran
Volume
Pulau Jawa k.l f 2,4 miliar
Sumatera k.l f 1,6
miliar
Kalimantan dan
Sulawesi k.l f 4 miliar
Total Peredaran
diperkirakan k.l f 8 miliar
ORI Sebagai Instrumen
Moneter
Oeang Republik
Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah
Republik Indonesia. Kepentingan pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang
Hindia Belanda dan uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di
Indonesia. Saat pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana
pembuatan yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI
sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dala fungsiya sebagai
alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan ‘continental
money’(greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika
Serikat. ORI juga sebagai ‘instrumen of revolution’ karena dipergunakan untuk
administrasi negara, memperkuat kebutuhan tentara, memelihara kemanan dan
ketertiban, serta mensejahterakan rakyat.
Ketika ORI akan
diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di
masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba
dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian
dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan
untuk menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang secara berangsur. Tindakan
yang dilakukan pertama kali adalah pelarangan orang membawa uang tersebut lebih
dari f 1000(uang Jepang) dari daerah Keresidenan Jakarta, Semarang, Surabaya,
Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura, tanpa seizing
terlebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan
pada tanggal22 Juni 1946. Dan kemudian berangsur berkurang peredarannya hingga
uang-uang tersebut disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara
Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan
Pos dan Rumah Gadai.
ORI ditandatangani
oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian
mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5
bulan atau tepatnya pada bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran
sehingga mata uang ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di
Indonesia dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk
memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan penyusun
pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949 telah mencapai volume Rp.
6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari bahwa kebijakan deficit
financing menyebabkan perkembangan inflasi yang sangat tinggi. Tetapi
pemerintah berada dalam kondisi yang dilema disebabkan kebutuhan yang sangat
besar untuk perang.tindakan-tindakan perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan
karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan.
Dari BNI ke BI
Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang no 2/1946 tanggal 5 Juli 1946 Bank Negara Indonesia
(BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi dan Bank sentral kendati demikian BNI
juga sebagai Bank Umum.
Dalam kondisi
perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang masih menyedihkan, BNI sebagai
bank sentral dan bank sirkulasi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
pengambil kebijakan moneter Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan
melawan penjajahan menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam penerbitan ORI,
tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai. Pengeluaran ORI dalam
volume yang sangat banyak menyebabkan BNI tidak mampu mengendalikan arus
inflasi yang terjadi akibat kelebihan permintaan pada jumlah penawaran yang
tetap.
BNI memiliki beberapa
tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas moneter dan mengamankan
pertumbuhan ekonomi. Beberapa kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut
termasuk kebijakan pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif;
penetpan dan perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag
diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu. Sekali
lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan tugas-tugas tersebut
tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan kredit ke berbagai
bank-bank lain.
Dalam aktivitasnya
menjadi Bank Umum, BNI telah mampu menghimpun dana simpanan dari masyarakat
hingga mencapai Rp 40 juta pada akhir 1947.
Pembahasan tentang BNI
sebagai bank sentral masuk dalam pembahsan di Konferensi Meja Bundar yang
berlangsung pada tanggal 19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli – 2
Agustus 1949 di Jakarta. KMB menetapkan bahwa BNI ditentutak sebagai Bank
Pembangunan. Ada banyak protes keras yang tujukan kepada pemerintah saat itu
tentang persoalan ini. Ketidakjelasan penetapan pemerintah mengenai status BNI,
BNI dengan inisiatif mengalihkan dirinya pada kegiatan ke bidang pembangunan
ekonomi dan perdagangan, sehingga secara langsung fingsinya berubah menjadi
murni sebagai bank umum. Penegasan status BNI sebagai bank umum melalui
peraturan perundan-undangan ditetapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Darurat No. 2 tahun 1955. Maka secara resmi status BNI sebagai bank sentral dan
bank sirkulasi praktis bukan menjadi wewenangnya.
Lahirnya Bank
Indonesia (BI) merupakan kelanjutan dari penerapan undang-undang tentang
nasionalisasi De Jaavasche Bank dengan pemindahan hak milik saham-saham
tersebut dari tangan pemilik swasta ke tangan pemerintah. Langkah nasionalisasi
De Javasche Bank bertujuan untuk membentuk satu bank sentral yang dimiliki
negara Indonesia sesuai dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dab
berdaulat. Pada tanggal 10 April 1953 parlemen Indonesia telah selesai membahas
dan menyetujui dari rencana Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang diajukan
pemerintah yang disertai perubahan penting lainnya. Kemudia pada tanggal 2 Juni
1953 Undang-undag tersebut diumumkan pada Lembaran Negara No. 40 dan dengan
demikian telah berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 dengan nama ‘Bank Indonesia’
yang tugas dan wewenangnya serupa ketika BNI berstatus sebagai bank sentral.
Setelah berdirinya Bank
Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan
Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya
perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter
adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan
impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan
negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah.
Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan
moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah
memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi
yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan
moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian,
lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat
struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan
tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah,
sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak
terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga
beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent
(LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian
semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang
ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank
Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai
landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
1. Sekilas
Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1997 - 1999
Sejak Juli 1997 telah
terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang ,sendi-sendi ekonomi dan
politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan
likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB).
Sebagai lender of the last resort BI harus membantu
mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot
tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku
bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI
(SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut
menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan
menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu
masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan
mulai menurun.
Maka terjadi penarikan
dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan
likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya system pembayaran terancam
macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997,
pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis
di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan
program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin
pembayaran kembali kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi
semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal
tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan
produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya
sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998
Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI
kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program
stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta
penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI
keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan
penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter,
pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta.
Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta
(TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang
penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa,
pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas
melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada
jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa
Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal
baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai
bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.
http://erwinnomic.blogspot.com/2010/08/tinjauan-sejarah-sistem-moneter.html
http://fakta-sejarah.blogspot.com/2009/02/moneter-indonesia.html
http://perpustakaan.depkeu.go.id
http://galerikemenkeulib.blogspot.com/2012/10/sejarah-moneter-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar